• Sabtu, 06 Oktober 2012

      Pertentangan Hadits (Bag :9)


       Pertentangan Hadits dengan Al-Qur’an

      Sebagian ulama menolak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :

      - Ada sebuah atsar menyebutkan : “Abu Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits yang berlawanan dengan Al-Qur’an”.

      - Umar Bin Khattab ra. pernah menolak hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Qur’an, dan Umar ra berkata : “tidaklah saya mau meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar boleh jadi salah”.

      - Diriwayatkan oleh Imam Bukhory, Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : “Aku berkata kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? ‘Aisyah menjawab : ‘Bangun bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :

      a. Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah :

      “Tiada dapat dilihat Dia oleh segala pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha mengetahui” (QS Al An’am : 103).

      b. Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman :

      “Tak ada yang seorangpun dapat mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari” (QS Lukman : 31).

      c. Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman :

      “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir “ (QS Al Maidah : 67).

      Pertentangan antar hadits.

      Ulama yang pertama kali membahas tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya “mukhtaliful hadits”. Apabila kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling bertentangan (menurut lahirnya), maka :
      Diusahakan untuk mengumpulkannya (mengkompromikan).
      Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.

      Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara lain :

      a. Penjelasan dari syar’i sendiri, contoh :

      “Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu” (HR Muslim).

      b. Penjelasan dari Sahabat

      Jabir berkata : “yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu’ bekas tersentuh api”.

      c. Diketahui tarikh keluarnya hadits :

      Hadits riwayat Syaddad :

      “Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang dibekam” (HR Abu Dawud).

      Menurut Imam Syafi’ii telah di nasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas ra :

      “Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa”.(HR Muslim).

      Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah, sedang hadits Ibnu ‘Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada’.

      Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama “Mahasinu’l-ishthilah”.

      Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits marjuh.

      Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :

      “Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau ihram”.

      Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ yang mengabarkan :
      “Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul”.

      Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu ‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi’.

      Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa jurusan :

      1. Jurusan sanad, misalnya :

      a. Hadits yang rawinya banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.

      b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi kecil.

      c. Hadits yang rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.

      2. Jurusan matan, misalnya :

      a. Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti majazi.

      b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.

      3. Jurusan hasil penunjukan (madlul), misalnya :

      Madlul yang positip merajihkan yang negatip.

      4. Jurusan dari luar, misalnya :

      Dalil yang qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan dalil yang fi’liyah (berdasarkan perbuatan).

      Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.

      Hadits yang mengandung pertentangan disebut hadits mukhtalif.

      ( Bersambung ke Bag : 10 )


      0 komentar:

      Posting Komentar

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news